Selasa, 17 Juni 2008

SAJAK-SAJAK CINTA II

Dengan Puisi Aku Mencintaimu

Ribuan puisi telah kutulis

Itu artinya, ribuan kali telah kunyatakan cintaku

ribuan kata-kata telah kubuat untuk hadirkan wajah indahmu

di balik setiap huruf, di balik setiap kata dan di balik setiap kalimat

hanya melahirkan satu makna, cinta untukmu


Kamis, 10 April 1997

Melintasi jejeran pohon jati

Gemerutuk kerikil membuai niat suci

Kaki telah menapak di dasar bumi

Menuju altar yang lama dinanti

Cinta bagai aliran anak sungai

Yang terus mengaliri palung-palung hati

Mengirimi kemarau

Pohon-pohon warna hijau dedaunan

Di seberang jembatan tua

Sebentuk hati dingin bagai pualam

Terbingkai warna-warni pelaminan

Putik meranum saat jejaka tiba

Menanti sengatan penghisap madu

Senandung doa diujung maghrib

Meleburkan dua hati menjadi satu


Kertamukti, 1997

Dengan jantung berdebar

Kunanti malam dalam balutan petang

Gemintang bertabur di angkasa raya

Mengusir gerimis ke pangkuan purnama

Bulan menggenit di balik tirai kamar pengantin

Yang tersibak dipermainkan angin

Darah kita tak lagi mengental

Terbakar oleh dengus nafas malam

Saat kau mengerang

Duhai lelakiku, kuserahkan kesucianku

Dalam kobaran birahi suci

Kita menjadi satu menuju puncak mimpi

Yang sekian lama kita nanti

Seteguk kenikmatan memecah keheningan

Saat spermamu membasahi bumiku


Ketika Kau Pergi

Kulewati hari-hariku

Dengan kesabaran yang pahit

Kesunyian yang membentang luas

Menyadarkanku betapa jarak

Tlah memisahkan kau dariku

Selintas kusapa bayangmu

Lewat sekelompok burung

Yang terbang melintasi awan

Adakah kau di sana mengirimiku

Senandung rindu lewat nyanyian bunga tulip

Yang menemani kesunyianmu

Ataukah kau ukir namaku

Dalam boneka salju

Yang membekukan kesendirianmu

Rinduku genderang bertalu

Menggema di ruang kalbu


Cipoetat, 1993

Kehampaanku adalah sebuah anugrah

Aku berjalan bagai bayangan yang mengiringinya

Untuk berpendar seperti dua orang yang asing

Atau bersatu bagai dua sisi mata uang

Takdirku tak tertulis untuk menghujat itu

Duniaku terus mengalir

Tak ada ladang hijau tempat persemaian cinta

Aku kian jauh terhimpit

Dalam dunia mimpi yang penuh sesak

Oleh muatan harapan

Setitik harapan di ujung pagi

Membawaku pada mimpi yang nyata

Aku bergerak menuju kesepianmu

Kau rengkuh aku dalam istana kesendirianmu

Sukmamu menjelma serupa bairahimu

Menyerap jiwaku mengguyur dahagaku


Rindu Kekasih

Oh malam

Rinduku pada kekasih

Membuat bathinku merintih perih

Seperti malam yang tak disapa bulan

Gelap mencumbu dingin yang terbawa angin

Menyibak tirai peraduan nan senyap

Menguliti tubuhku yang mulai sekarat

Rinduku pada kekasih

Serupa pungguk yang merindu bulan

Tersungkur dalam penantian yang panjang

Kau gantung sebuah jawaban

Di atas seutas tali besi yang menggulung hatimu

Menjadi bongkahan salju

Mengendap menutupi sungai-sungai tak bermuara

Tak kutemukan sebuah hulu untuk menepi

Aku terus berenang mengitari hawa dingin

Membawa nyala api untuk mencairkan kebekuanmu

Di sebuah tempat yang sepi

Kau menyerah pada nyala apiku

Lalu kau serahkan sekeping cinta

Untuk kuhangatkan di dalam bejana hatiku


Pelabuhan Cinta

Di dermaga tua yang penuh dengan kerutan buih

Kau memandangku dalam ketakjuban yang abadi

Akulah makhluk hasil kreasimu

Dari benih-benih yang kau tuangkan

Ke dalam bejana cinta seorang perempuan

Yang terus kau gilai meski alam telah terberai

Pahatan kusam yang tergores di sepanjang bibir pantai

Mengumbar cerita tentang kepedihan masa lalu

Yang terus menghantui perjalanan hidup kita

Bahkan sapuan ombak yang membumbung tinggi

Tak mampu menghapus kisah pedih itu dari ingatan kita

Kau dan aku adalah sejarah kelam

Sekelam perjalanan yang selama ini kita tempuh

Di dermaga tua yang penuh dengan goresan luka itu

Kau berdiri dengan sorot mata berbinar

Bak kejora yang tergantung dalam bingkai cakrawala

Meski kulit di sekitar kelopak matamu telah mengendur

Namun sorot mata itulah yang telah menuntunku

Hingga sampai ke ujung jalan yang dipenuhi cahaya

Kau adalah dermaga tua tempat bidukku berlabuh

Menautkan cinta dan kerinduan dalam satu bahtera


Sunyi di Ujung Senja

Telah kau renda senja dalam sunyi

Senandung lagumu merdu menyayat kalbu

Kau kelabui alam dengan derai tawa

Namun dukamu tak seketika bisa sirna

Rindu

Kau menatap pilu

Pada awan berdimensi biru

Mengharap serdadu menabuh talu

Tanda perjuanganmu telah sampai di ujung waktu

Kerandamu telah siap sejak kemarin

Denyut nadimu telah berhenti kemarin pagi

Detak jantungmu tak lagi berdenyut ketika hari menjelang dini

Namun harapanmu tak jua pupus

Penantianmu tak hendak surut

Setapak kaki menjejak di bumi

Di mana ruhmu telah lama menanti

Harapanmu adalah mimpi yang nyata

Meski kau sambut tanpa kata dan tatap mata

Pergilah

Tidurlah kau dalam damai

Kutimang kau dengan senandung doa

Yang tak mungkin lekang meski waktu terus berlalu

Tlah kupersiapkan diriku

Tuk menukar kesunyianmu dengan nyanyian surga

Depok, 23 Juli 2007)

(Untuk ayahanda tercinta yang pergi dengan membawa rindu untukku)


Sampaikan Salamku Pada Ibu

Berbaringlah di sisiku

Ceritakan kepadaku tentang masa lalu

Yang pernah kita lalui

Meski dengan cara penuh liku

Wajahmu tirus menatap lurus

Mencari jejak di segurat kenangan

Yang terkubur bersama rentang waktu

Memisahkan kau, aku dan ibu

Kau bersikeras

Untuk bisa masuk ke ruang penyimpanan

Di mana file-file masa lalu tersampir beku

Kau tersenyum dengan tatap mata basah

Lirih suaramu berkata:

“Bersabarlah sedikit kekasihku, kuingin sampaikan

Berita bahagia ini pada anak kita yang sedang

Dalam perjalanan melepasku pergi”

Kau telah pergi

Membawa guratan kenangan

Yang tertoreh jelas di keriput wajahmu

Tak kusesali meski kau tak sempat berbaring di sisiku

Karena kau pergi untuk menemui kekasihmu

Satu pintaku, sampaikan salamku pada ibu


Lelaki Tua

Terbebaslah kau

Dari beban rindu

Yang berakhir di batas penantian

Lelaki tua terbaring lemah

Meratap tangis

Terbawa desir angin

Malam menapaki bumi

Berlomba dengan waktu

Menanti kokok pejantan berseru

Lelaki tua layu dalam gelisah

Tak hendak dilihatnya embun

Lekas menetes di daun-daun hijau

Sebelum matahari datang menyapa

Melepasnya pergi dengan tatap cinta

Lelaki tua terbaring kaku

Di sisinya matahari menangis tersedu


Perpisahan

Biarkan aku pergi

Sekelumit kata pecah

Mengurai senyap yang singgah

Sejak kita hidup dalam zaman bisu

Meretas jarak dari rentang waktu

Yang tak tampak meski kita bersatu

Membingkai kenangan tanpa bekas

Terlindas pertikaian, terus memanas

Memuai dan kandas

Kau terpengarah dalam sejuta tanya

Tegur sapa lama tak bersahabat

Bahkan tatapan pun kita buatkan sekat

Kita tenggelam dalam dunia yang berbeda

Meski langit terjunjung di atas satu

Mendung mengejan

Merontokkan butiran-butiran bening

Menggenang darah dari luka hati yang meleleh

Namun lukaku telah menjadi arang

Hitam dan membara

Perjalanan kita telah usai

Sebelum sampai pada tujuan yang kita mau

Namun banyak persimpangan yang telah kita lewati

Mungkin dengan menelusurinya seorang diri

Kita akan menemukan apa yang kita cari

Pergilah,

Jawaban itu sekaligus mengakhiri zaman bisu