Dengan Puisi Aku Mencintaimu
Ribuan puisi telah kutulis
Itu artinya, ribuan kali telah kunyatakan cintaku
ribuan kata-kata telah kubuat untuk hadirkan wajah indahmu
di balik setiap huruf, di balik setiap kata dan di balik setiap kalimat
hanya melahirkan satu makna, cinta untukmu
Kamis, 10 April 1997
Melintasi jejeran pohon jati
Gemerutuk kerikil membuai niat suci
Kaki telah menapak di dasar bumi
Menuju altar yang lama dinanti
Cinta bagai aliran anak sungai
Yang terus mengaliri palung-palung hati
Mengirimi kemarau
Pohon-pohon warna hijau dedaunan
Di seberang jembatan tua
Sebentuk hati dingin bagai pualam
Terbingkai warna-warni pelaminan
Putik meranum saat jejaka tiba
Menanti sengatan penghisap madu
Senandung doa diujung maghrib
Meleburkan dua hati menjadi satu
Kertamukti, 1997
Dengan jantung berdebar
Kunanti malam dalam balutan petang
Gemintang bertabur di angkasa raya
Mengusir gerimis ke pangkuan purnama
Bulan menggenit di balik tirai kamar pengantin
Yang tersibak dipermainkan angin
Darah kita tak lagi mengental
Terbakar oleh dengus nafas malam
Saat kau mengerang
Duhai lelakiku, kuserahkan kesucianku
Dalam kobaran birahi suci
Kita menjadi satu menuju puncak mimpi
Yang sekian lama kita nanti
Seteguk kenikmatan memecah keheningan
Saat spermamu membasahi bumiku
Ketika Kau Pergi
Kulewati hari-hariku
Dengan kesabaran yang pahit
Kesunyian yang membentang luas
Menyadarkanku betapa jarak
Tlah memisahkan kau dariku
Selintas kusapa bayangmu
Lewat sekelompok burung
Yang terbang melintasi awan
Adakah kau di sana mengirimiku
Senandung rindu lewat nyanyian bunga tulip
Yang menemani kesunyianmu
Ataukah kau ukir namaku
Dalam boneka salju
Yang membekukan kesendirianmu
Rinduku genderang bertalu
Menggema di ruang kalbu
Cipoetat, 1993
Kehampaanku adalah sebuah anugrah
Aku berjalan bagai bayangan yang mengiringinya
Untuk berpendar seperti dua orang yang asing
Atau bersatu bagai dua sisi mata uang
Takdirku tak tertulis untuk menghujat itu
Duniaku terus mengalir
Tak ada ladang hijau tempat persemaian cinta
Aku kian jauh terhimpit
Dalam dunia mimpi yang penuh sesak
Oleh muatan harapan
Setitik harapan di ujung pagi
Membawaku pada mimpi yang nyata
Aku bergerak menuju kesepianmu
Kau rengkuh aku dalam istana kesendirianmu
Sukmamu menjelma serupa bairahimu
Menyerap jiwaku mengguyur dahagaku
Rindu Kekasih
Oh malam
Rinduku pada kekasih
Membuat bathinku merintih perih
Seperti malam yang tak disapa bulan
Gelap mencumbu dingin yang terbawa angin
Menyibak tirai peraduan nan senyap
Menguliti tubuhku yang mulai sekarat
Rinduku pada kekasih
Serupa pungguk yang merindu bulan
Tersungkur dalam penantian yang panjang
Kau gantung sebuah jawaban
Di atas seutas tali besi yang menggulung hatimu
Menjadi bongkahan salju
Mengendap menutupi sungai-sungai tak bermuara
Tak kutemukan sebuah hulu untuk menepi
Aku terus berenang mengitari hawa dingin
Membawa nyala api untuk mencairkan kebekuanmu
Di sebuah tempat yang sepi
Kau menyerah pada nyala apiku
Lalu kau serahkan sekeping cinta
Untuk kuhangatkan di dalam bejana hatiku
Pelabuhan Cinta
Di dermaga tua yang penuh dengan kerutan buih
Kau memandangku dalam ketakjuban yang abadi
Akulah makhluk hasil kreasimu
Dari benih-benih yang kau tuangkan
Ke dalam bejana cinta seorang perempuan
Yang terus kau gilai meski alam telah terberai
Pahatan kusam yang tergores di sepanjang bibir pantai
Mengumbar cerita tentang kepedihan masa lalu
Yang terus menghantui perjalanan hidup kita
Bahkan sapuan ombak yang membumbung tinggi
Tak mampu menghapus kisah pedih itu dari ingatan kita
Kau dan aku adalah sejarah kelam
Sekelam perjalanan yang selama ini kita tempuh
Di dermaga tua yang penuh dengan goresan luka itu
Kau berdiri dengan sorot mata berbinar
Bak kejora yang tergantung dalam bingkai cakrawala
Meski kulit di sekitar kelopak matamu telah mengendur
Namun sorot mata itulah yang telah menuntunku
Hingga sampai ke ujung jalan yang dipenuhi cahaya
Kau adalah dermaga tua tempat bidukku berlabuh
Menautkan cinta dan kerinduan dalam satu bahtera
Sunyi di Ujung Senja
Telah kau renda senja dalam sunyi
Senandung lagumu merdu menyayat kalbu
Kau kelabui alam dengan derai tawa
Namun dukamu tak seketika bisa sirna
Rindu
Kau menatap pilu
Pada awan berdimensi biru
Mengharap serdadu menabuh talu
Tanda perjuanganmu telah sampai di ujung waktu
Kerandamu telah siap sejak kemarin
Denyut nadimu telah berhenti kemarin pagi
Detak jantungmu tak lagi berdenyut ketika hari menjelang dini
Namun harapanmu tak jua pupus
Penantianmu tak hendak surut
Setapak kaki menjejak di bumi
Di mana ruhmu telah lama menanti
Harapanmu adalah mimpi yang nyata
Meski kau sambut tanpa kata dan tatap mata
Pergilah
Tidurlah kau dalam damai
Kutimang kau dengan senandung doa
Yang tak mungkin lekang meski waktu terus berlalu
Tlah kupersiapkan diriku
Tuk menukar kesunyianmu dengan nyanyian surga
Depok, 23 Juli 2007)
(Untuk ayahanda tercinta yang pergi dengan membawa rindu untukku)
Sampaikan Salamku Pada Ibu
Berbaringlah di sisiku
Ceritakan kepadaku tentang masa lalu
Yang pernah kita lalui
Meski dengan cara penuh liku
Wajahmu tirus menatap lurus
Mencari jejak di segurat kenangan
Yang terkubur bersama rentang waktu
Memisahkan kau, aku dan ibu
Kau bersikeras
Untuk bisa masuk ke ruang penyimpanan
Di mana file-file masa lalu tersampir beku
Kau tersenyum dengan tatap mata basah
Lirih suaramu berkata:
“Bersabarlah sedikit kekasihku, kuingin sampaikan
Berita bahagia ini pada anak kita yang sedang
Dalam perjalanan melepasku pergi”
Kau telah pergi
Membawa guratan kenangan
Yang tertoreh jelas di keriput wajahmu
Tak kusesali meski kau tak sempat berbaring di sisiku
Karena kau pergi untuk menemui kekasihmu
Satu pintaku, sampaikan salamku pada ibu
Lelaki Tua
Terbebaslah kau
Dari beban rindu
Yang berakhir di batas penantian
Lelaki tua terbaring lemah
Meratap tangis
Terbawa desir angin
Malam menapaki bumi
Berlomba dengan waktu
Menanti kokok pejantan berseru
Lelaki tua layu dalam gelisah
Tak hendak dilihatnya embun
Lekas menetes di daun-daun hijau
Sebelum matahari datang menyapa
Melepasnya pergi dengan tatap cinta
Lelaki tua terbaring kaku
Di sisinya matahari menangis tersedu
Perpisahan
Biarkan aku pergi
Sekelumit kata pecah
Mengurai senyap yang singgah
Sejak kita hidup dalam zaman bisu
Meretas jarak dari rentang waktu
Yang tak tampak meski kita bersatu
Membingkai kenangan tanpa bekas
Terlindas pertikaian, terus memanas
Memuai dan kandas
Kau terpengarah dalam sejuta tanya
Tegur sapa lama tak bersahabat
Bahkan tatapan pun kita buatkan sekat
Kita tenggelam dalam dunia yang berbeda
Meski langit terjunjung di atas satu
Mendung mengejan
Merontokkan butiran-butiran bening
Menggenang darah dari luka hati yang meleleh
Namun lukaku telah menjadi arang
Hitam dan membara
Perjalanan kita telah usai
Sebelum sampai pada tujuan yang kita mau
Namun banyak persimpangan yang telah kita lewati
Mungkin dengan menelusurinya seorang diri
Kita akan menemukan apa yang kita cari
Pergilah,
Jawaban itu sekaligus mengakhiri zaman bisu