Selasa, 02 September 2008

SAJAK KITA DAN TUHAN

DALAM DAMAI

Dalam damai Engkau ada
Menjamah raga ketika lara
Mengusir duka menjadi suka
Meredam luka menabur tawa

Dalam damai Engkau ada
Memberi cinta menebar asa
Saat jiwa berlumur dosa
Kau ada mengajak bicara


KETIKA FAJAR

Hening dalam fajar
Terhampar selembar tikar
Merunduk kening mengusir gusar
Tatkala iman mulai samar


KETIKA PAGI

Ketika pagi telah tiba
Terpikir olehku mencari harta
Tanpa terlupa melewati dhuha
Agar rizki terhindar dari riba


KETIKA SIANG

Terik mentari membakar hari
Tak terpikir untuk menghindar pergi
Melainkan keinginan untuk menghadap Ilahi
Menahan hasrat agar tak lupa diri


KETIKA SENJA

Waktu di mana iblis menghampiri
Merajah sepi mengebiri hari
Menggeliat dalam dekapan ashari
Mengumandangkan ayat suci pelindung hakiki
Lalu maghribpun menghampiri
Iblis segera pergi terpercik air suci


KETIKA MALAM

Dalam malam aku terjaga
Mereguk air dalam dahaga
Saat sajadah terbentang lega
Terbayang di mata cahaya surga

Sunyi dalam malam
Kulantunkan nyanyian kalam
Bersama Tuhan aku tenggelam
Menebus dosa di masa silam


TAHAJUD

Malam ini,
Seperti biasa
Di sudut sebuah surau tua
Kubasuh mukaku dengan air suci

Malam ini,
Seperti biasa,
Kulantunkan ayat-ayat suci
Mencoba menyatu dalam raga yang Maha Tinggi

Wahai Zat yang menguasai malam
Sambutlah aku bersama buaian kalam
Dalam kekhusu’anku Engkau bergumam
Tahajud akan membuat hidupku tentram


TSUNAMI

Bumi marah
Membuncah buih
Dari pusaranya
Meronce angin menuai badai
Tinggi berayun
Sepoinya tak terdengar
Berganti gertakan
Seketika bumi luluh lantah
Tercerai berai seperti sampah


GEMPA

Kaki bumi terhentak
Hingga gugusan bintang ikut bergoyang
Matahari dan bulan
Menggelantung berpegangan erat
Tebalnya awan tak mampu meredam
Goncangan alam
Manusia dan apa yang dimilikinya
Tersungkur di ujung kaki bumi


SEPASANG MATA

Sepasang mata
Terpejam dalam hening sepi
Menyelam jauh ke dasar hati
Mencari kebenaran sejati

Sepasang mata
Mengalir dua anak sungai
Membasahi kanvas yang penuh noda
Mengacaukan warna yang tertera di sana

Sepasang mata terus terpejam
Memohon percikan kasih
Dari Dia yang pernah memberi
Selembar kanvas putih


PASRAH DAN PUTUS ASA

Hampir tak ada beda
Antara pasrah dan putus asa
Keduanya hanya bisa dirasa
Namun tak bisa diraba

Kepasrahan adalah penyerahan
Setelah terkumpul semua usaha
Keputusasaan adalah penyerahan
Setelah semua usaha dianggap sia-sia


SAJADAH

Selembar sajadah
Menyimpan banyak sejarah
Mulai dari orang yang merasa bersalah
Hingga mereka yang merasa kalah

Selembar sajadah
Menyimpan banyak sejarah
Mulai dari orang yang menengadah
Hingga mereka yang merasa dirinya berlimpah

Di atas selembar sajadah
Mereka berdiri menundukkan wajah
Di atas selembar sajadah
Mereka duduk dalam pasrah
Di atas selembar sajadah
Mereka memohon ampun dan ijabah


DO’A ANAK PELACUR

Tuhan,
Pendarkanlah cahaya bulanMu
Untuk menerangi jalan ibuku
Yang bekerja keras mencari nafkah
Untuk membesarkanku

Tuhan,
Berikanlah sepercik kasihMu
Untuk memberi kekuatan kepada ibuku
Yang telah mengorbankan harga dirinya
Hanya demi menyekolahkanku

Tuhan,
Berkahilah ibuku
Yang telah mengajarkanku kepadaku
Tentang diriMu
Hingga aku bisa bersimpuh di hadapanMu
Untuk senantiasa memuji namaMu

Senin, 11 Agustus 2008

SAJAK-SAJAK PILU

DUNIA TANPA MUSIM

Malam masih menyisakan remang

Ketika semburat perak mulai menguak pagi

Mengikis kabut yang enggan beranjak pergi

Namun rotasi bumi akan terus berlari

Merubah waktu dan musim agar terus berganti

Sebuah dunia yang penuh warna abu-abu

Tersebar di bawah jembatan-jembatan bertiang seribu

Mereka hanya memiliki satu musim dan satu waktu

Pagi, siang, malam, bagi mereka tak berlaku

Di sebuah negeri

Yang tengah berbenah diri

Dari rongrongan berbagai dekdensi

Termasuk budaya korupsi yang tinggi

Kisah ini sungguh terjadi


JASAD DALAM GEROBAK

Pagi baru saja merekah

Ketika sebuah gerobak sampah

Bergerak membawa gadis mungil dalam rebah

Gemerutuk tulang berbisik resah

Memutar roda-roda dalam himpitan kesedihan yang membuncah

Seribu guratan mengental pada wajah yang lelah

Membungkus tulang pipi tanpa sekerat daging tempat mengalirnya darah

Terucap tanya dalam hati, hendak kemanakah

Kan kubawa darah daging hasil persemaian cinta ya ALLAH

Gadis mungil dalam rupa yang pasi

Telah berubah menjadi pualan nan suci

Dingin dan membeku meski terbakar oleh terik mentari

Memanggang jasadnya yang tak berselimut kafan bertali

Gerobak sampah terus berderit

Menyusuri lorong-lorong sempit

Melewati rumah-rumah elit

Hati laki-laki itu tak henti menjerit

Gadis kecil yang malang

Dia telah pergi meninggalkan dunianya yang suram

Menorehkan luka sejarah yang panjang

Sampai kapankah kesenjangan ini akan berakhir?


JASAD YANG TELAH MATI

Terbayang di mata pantai nan elok

Membingkai laut tempat ikan melenggok

Ramai kicau anak-anak bermain dan berolok

Di tepi pantai tempat biasa kami berlari dan berjongkok

Tiba-tiba raksasa itu datang menggilas

Pekik dan tangis ketakutan terdengar hanya sekilas

Dalam sekejap meunasahku menjadi amblas

Tak bersisa, tak berbekas

Kudekap erat sebilah pelepah yang terapung lepas

Terombang-ambing dalam gelombang yang mengganas

Timbul tenggelam dalam lumpur yang menyumbat nafas

Kemanakah tubuh ini akan terhempas?

Matahari tak jua menyapa negeri

Ataukah retina mata ini sudah tak berfungsi?

Kudapati jasadku tergolek di antara ribuan manusia yang telah mati

Di kelilingi oleh peri-peri yang menari-nari

Aneh, kenapa aku bisa melihat tubuhku sendiri?

Bunda datang bersama adik dalam rupa yang pasi

Bersama peri-peri mereka membawaku pergi

Meninggalkan pekikan pilu ayah yang memeluk jasadku yang mulai membiru

Kelabu di langit meunasah menyisakan kisah pilu


GUGURNYA SANG PENARI

Sekeping bulan

Bertengger di balik ranting kering

Memancarkan cahaya menyapu dedaunan

Sisa-sisa air hujan seperti kristal

Bergelantungan di ujung-ujung daun tak bertulang

Penari memasuki taman bunga baiduri

Hasil budidaya seseorang yang biasa dipanggil mami

Penari terkurung dalam sarang penuh mucikari

Menari di antara semak-semak belukar

Menyusup di balik keringat kumbang jalang dan binatang liar

Tak ada celah untuknya bersembunyi

Apalagi lubang untuk menyelinap pergi

Tubuhnya terlilit seutas tali

Dari pusar iblis yang menjaga neraka

Tempat para pemuja mencari bejana

Untuk menuangkan saripati dari benih yang tersia-sia

Membelah belantara dan menyisir rawa-rawa

Lalu masuk ke dalam lorong kegelapan

Terjepit di antara batu-batu cadas yang mengeras

Menggelepar lalu melemas

Seonggok jasad mulai rapuh

Bergeming dalam kelam berkabut

Keletihan telah membawanya pada batas waktu

Layu, terkapar di ujung kaki bumi

Tanpa belas kasih dan harga diri

Penari tak sanggup lagi mengepakkan gemulai tangannya

Menantang kumbang-kumbang liar yang siap menghisap madu

Menancapkan duri-duri tajamnya menghujam ulu

Mendengarkan lenguh panjang kepuasan setelah bercumbu

Penari terpental bagai peluru tak terkendali

Penari tercampak bagai nyayian tak bermelodi

Sekeping bulan, perlahan bergerak pergi

Meninggalkan ranting kering dan daun-daun tak bertulang

Terpelanting bersama gugurnya sang penari


SEPOTONG HATI

Kau ukir cinta dalam selembar sutra

Tersulam di sana rindu yang lama kau pendam

Seribu rasa tersusun rapi di antara serat-seratnya

terselip dari ujung ke ujung

meresap ke dalam pori-pori

menyusup ke sanubari

merenda selarik puisi

mengusir sepi

Aku perduli

pada sepotong hati

yang kau kirimkan padaku pagi ini


KESETIAAN I

Satu langkah maju

Satu masa berlalu

Sebelum musim berganti

Kuingin kau mengerti

Sekali dalam hidupku

Kupikat engkau di bening embun pagi

Hatiku padamu

Seperti matahari menyongsong hari

Begitu seterusnya

Meski gerhana terkadang menghalangi

Namun bumi tak pernah enggan untuk menanti

Detik demi detik menit demi menit

Cintaku tak pernah lekang oleh waktu


KESETIAAN II

Pernah bintang berkata pada langit

“Aku tak mungkin berkhianat pada bulan”

Langit terkesima

Kelelawar-kelelawar mengelus dada

Kunang-kunang bertasbih memanjat doa

Wajah bulan penuh menatap bumi

Bertengger pada sepotong awan

Dibisikinya awan tentang kesetiaan

Mayapada benderang

Anak-anak berlari gembira

Bulan dan Bintang bersanding dalam tahta

Mengawal malam menjemput sang fajar


YANG BARU

Yang baru,

Adalah sesuatu yang dirindu

Sesuatu yang diinginkan untuk ada

Dari asal yang tak ada menjadi ada.

Seperti cinta

Cinta mampu melahirkan sesuatu

Yang tadinya tak ada menjadi ada

Dengan cinta kau beri aku

Semua yang belum pernah aku miliki

Sebelumnya

Yang baru membutuhkan cinta

Namun cinta tak butuh yang baru

Cinta hanya melahirkan yang baru

Karena cinta selalu menjaga yang ada


SEPARUH MALAM

Hitam.....

Hanya ada hitam

Tak ada bintang

Tak ada bulan

Hanya ada hitam

Langit hitam

Air hujan berwarna hitam

Suara gemuruh keluar dari lumpur hitam

Hitam....

Hanya ada hitam

Semua serba hitam

Airmataku juga hitam

Lautanku juga hitam

Cukup separuh malam

Untuk merubah semua warna menjadi hitam

Kamis, 07 Agustus 2008

SAJAK-SAJAK PENGKHIANATAN

PERSETUBUHAN

Malam baru saja berangkat

Menapakkan kakinya sambil berjingkat

Rembulanpun masih tampak malu

Menggeliat dalam rona merah dadu

Menggelantung di ujung lidah pekat

Menanti awan datang mendekat

Seorang perawan diam tercekat

Matanya gemerlap menatap lekat

Bergelayut manja pada sang pembuka cawat

Di balik bilik mereka saling merapat

Tanpa selembar kainpun yang mengikat

Dua kelamin yang berbeda zat

Bertempur dalam simbah keringat

Menggelepar dalam sekarat

Lembah hitam semakin dalam menjerat

Nikmat meski hanya sesaat


KEMANA PRIAMU TLAH KAU BAWA PERGI?

Kemana priamu telah kau bawa pergi?

Tanyaku dalam hati

Malam telah larut

Anak-anak telah lelap di balik selimut

Ketika kau datang dengan muka kusut

Seketika dahiku berkerut

Kau menatapku takut

Kemana priamu telah kau bawa pergi?

Tanyaku dalam hati

Kau tak jua membuka mulut

Terus terang, perasaanku sangat kalut

Hatiku bagai dunia yang carut marut

Kau telah berubah menjadi laki-laki pengecut

Aku berusaha untuk tidak menampakkan wajah cemberut

Aku tak mau membuat masalah berlarut-larut

Kemana priamu telah kau bawa pergi?

Tanyaku dalam hati

Mataku menatap lekat

Pada kerah baju yang kau tutup rapat

Jenjang lehermu nyarais tak terlihat

Wajahmu pucat bagai mayat

Lenguhmu persis orang sekarat

Kuberanikan diri untuk mendekat

Namun kau menghindar secepat kilat

Kemana priamu telah kau bawa pergi?

Pertanyaan ini benar-benar nyata

Karena kuajukan dengan suara

Matamu menatap penuh iba

Ada dosa menggenang di sana

Goresan merah dadu itu

Menyembul malu di balik kerah bajumu

Goresan yang sama yang sering aku buat untukmu

Ketika dulu kita berbulan madu

Kau mendesah resah

Mencoba mengusir rasa bersalah

Kemana priamu telah kau bawa pergi?

Kubertanya sekali lagi

Airmataku jatuh bergulir

Otakku tak lagi bisa berpikir

Kujambak rambutmu yang tak tersisir

Kudorong tubuhmu hingga tersingkir

Kau hanya menatapku getir

Malam terus berlalu

Meninggalkan raga-raga yang terus membisu

Dengkur anak-anak terdengar merdu

Meski mendendangkan irama sendu


PERMINTAAN

Pagi telah merekah

Goresan di lehermu masih memerah

Kucoaba untuk menahan marah

Agar luka hati tak berdarah

Marilah,

Ajakku dengan ramah

Kita bermuhadasah

Menyusuri inti masalah

Agar tidak terjadi fitnah

Semoga masih ada mawaddah

Yang berkelindan dengan rahmah

Dan merekatkan tali sakinah

Jujurlah,

Hanya itu yang aku pinta

Sebab jika kau dusta

Itu tanda kau tak cinta

Berterus teranglah,

Karena tak baik berahasia

Jika tiba saatnya terbuka

Siapa mengira cinta sudah tak ada

Kau terperangah

Dalam titik nadir pasrah

Aku tengadah

Memohon ijabah

Pamulang, 28 Mei 2002


TOLONG..........

Tolong hargai perasaanku

Karena aku mudah cemburu

Tolong hargai sikap diamku

Karena aku tak mudah dirayu

Tolong hargai cintaku

Karena aku tak mau dimadu

Tolong hargai keputusanku

Jika suatu saat tak lagi tahan padamu


RENOVASI

Masih adakah ruang untuk kita

Padahal rumah ini kitalah yang mendesainnya

Pondasinya kita susun begitu kuat

Bahkan badai tsunamipun tak akan sanggup merobohkannya

Renovasi pertama kita lakukan

Ketika kita sadar rumah ini terlalu rapat

Tak ada ventilasi udara di dinding-dindingnya

Udara menjadi lembab dan pengap

Meski tungku selalu kita nyalakan

Tetapi suasana dingin tetap menyelimuti kita

Penyakit-penyakit ringanpun mulai menggerogoti raga

Lalu kita buat celah-celah, yang memungkinkan

Udara dan sinar matahari bisa masuk ke dalamnya

Sejak itu, wajahmu mulai sumringah

Semangatmu kembali merajah

Renovasi kedua kita lakukan

Ketika kau beranggapan bahwa pintu rumah ini terlalu kuat

Padahal selama ini kita tak pernah kesulitan untuk membukanya

Bukankah dulu kau pernah bilang, “jika ingin rumah ini aman,

maka pintunya harus kuat, sehingga tak ada pencuri yang bisa masuk”

Lagi-lagi aku mengalah, lalu kau gantilah pintu itu dengan yang lebih ringan

Renovasi ketiga kita lakukan

Setelah sebelumnya kau dengan hati-hati mengatakan kepadaku

Bahwa kau ingin memberiku madu.

Lalu kau buat sebuah ruang, di samping kamar kita

Kau desain dan kau isi perabotan yang sama dengan kamar kita

Agar aku tak merasa tersisih

Meski dengan perasaan getir, kutelan madu yang kau berikan

Begitulah, beberapa kali kita renovasi rumah yang berpondasi kokoh itu

Dan pada renovasi yang terakhir, sebagian pondasi tiba-tiba runtuh

Memporak-porandakan ruangan milik kita hingga tak bersisa

Mengubur semua kenangan yang pernah kita buat bersama

Tubuhku terlalu rapuh untuk terus menerus

menghirup debu-debu yang berterbangan

setiap kali para pekerja bangunan itu mulai bekerja

bulu-bulu hidungku tak kuat lagi menyaring aroma cat

yang meleleh pada dinding-dinding bangunan baru rumah kita

Telingaku tak sanggup lagi mendengar suara-suara lebah yang kau simpan

Hampir di setiap ruangan yang ada di rumah kita

Mereka mendengung manakala jari jemarimu meremas-remas tubuh mereka

Satu persatu organ-organ yang ada di dalam tubuhku tanggal

Teracuni oleh sengatan bisa lebah-lebahmu


PENGKHIANATAN

Sepi telah mencabik-cabik hasratmu menjadi ribuan nafsu

Lalu kau jadikan senjata untuk mengkhianatiku

Di balik keluguan malam kau torehkan noda biru

Menyatu bersama nafas yang saling memburu

Gelap telah menjerumuskanmu ke tepi jurang yang curam

Di mana tak kau temukan celah tempat berpendarnya cahaya bulan

Membias bersama luruhnya dedaunan seperti lukisan buram

Kau banjiri kanvas dengan peluhmu dan peluh puan

Setitik nila kau teteskan di hamparan putih bersalju

Seketika warna putih berubah menjadi kelabu

Jika kemudian malam telah berubah siang

Lukisan itu tak jua terlihat terang


PENYESALAN TIADA HENTI

Rintihan sukma

Datang dari alam maya

Meski berawal dari kreasi yang nyata

Tetapi penyesalan seluas cakrawala

Meski kau ingin segera sampai di ujungnya

Tak akan bisa, kecuali cahaya menuntunmu ke sana

Kau hirup racun dalam kesadaran yang dalam

Kau racik noda dalam hasrat yang memabukkan

Ketika ribuan ular berbisa mulai mengerubutimu

Kau nikmati gigitannya layaknya sedang penetrasi

Berkelindan dalam persetubuhan yang terlarang

Kau terbelalak puas dalam lenguhan panjang

Kau tertawa girang, seperti serdadu menang perang

Kau terpuruk bersama pekatnya malam

Segurat wajah menatap kosong dalam bayangan hitam

Terselubung samar dalam jubah panjang terbentang

Suaranya menggemuruh lantang

Kau menjerit menahan sakit bukan kepalang

Setiap ucapannya seperti sebilah pedang

Menghujam jantung dan kau terus meradang

Rintihan sukma

Telah menghasilkan petualangan yang panjang

Kau telusuri jalanan penuh duri

Kau kebiri setiap celah menjadi benda mati

Namun tak jua kau temukan apa yang kau cari

Penyesalan seperti lautan tak bertepi

Hanya biduk yang bisa membawamu pergi

Selasa, 17 Juni 2008

SAJAK-SAJAK CINTA II

Dengan Puisi Aku Mencintaimu

Ribuan puisi telah kutulis

Itu artinya, ribuan kali telah kunyatakan cintaku

ribuan kata-kata telah kubuat untuk hadirkan wajah indahmu

di balik setiap huruf, di balik setiap kata dan di balik setiap kalimat

hanya melahirkan satu makna, cinta untukmu


Kamis, 10 April 1997

Melintasi jejeran pohon jati

Gemerutuk kerikil membuai niat suci

Kaki telah menapak di dasar bumi

Menuju altar yang lama dinanti

Cinta bagai aliran anak sungai

Yang terus mengaliri palung-palung hati

Mengirimi kemarau

Pohon-pohon warna hijau dedaunan

Di seberang jembatan tua

Sebentuk hati dingin bagai pualam

Terbingkai warna-warni pelaminan

Putik meranum saat jejaka tiba

Menanti sengatan penghisap madu

Senandung doa diujung maghrib

Meleburkan dua hati menjadi satu


Kertamukti, 1997

Dengan jantung berdebar

Kunanti malam dalam balutan petang

Gemintang bertabur di angkasa raya

Mengusir gerimis ke pangkuan purnama

Bulan menggenit di balik tirai kamar pengantin

Yang tersibak dipermainkan angin

Darah kita tak lagi mengental

Terbakar oleh dengus nafas malam

Saat kau mengerang

Duhai lelakiku, kuserahkan kesucianku

Dalam kobaran birahi suci

Kita menjadi satu menuju puncak mimpi

Yang sekian lama kita nanti

Seteguk kenikmatan memecah keheningan

Saat spermamu membasahi bumiku


Ketika Kau Pergi

Kulewati hari-hariku

Dengan kesabaran yang pahit

Kesunyian yang membentang luas

Menyadarkanku betapa jarak

Tlah memisahkan kau dariku

Selintas kusapa bayangmu

Lewat sekelompok burung

Yang terbang melintasi awan

Adakah kau di sana mengirimiku

Senandung rindu lewat nyanyian bunga tulip

Yang menemani kesunyianmu

Ataukah kau ukir namaku

Dalam boneka salju

Yang membekukan kesendirianmu

Rinduku genderang bertalu

Menggema di ruang kalbu


Cipoetat, 1993

Kehampaanku adalah sebuah anugrah

Aku berjalan bagai bayangan yang mengiringinya

Untuk berpendar seperti dua orang yang asing

Atau bersatu bagai dua sisi mata uang

Takdirku tak tertulis untuk menghujat itu

Duniaku terus mengalir

Tak ada ladang hijau tempat persemaian cinta

Aku kian jauh terhimpit

Dalam dunia mimpi yang penuh sesak

Oleh muatan harapan

Setitik harapan di ujung pagi

Membawaku pada mimpi yang nyata

Aku bergerak menuju kesepianmu

Kau rengkuh aku dalam istana kesendirianmu

Sukmamu menjelma serupa bairahimu

Menyerap jiwaku mengguyur dahagaku


Rindu Kekasih

Oh malam

Rinduku pada kekasih

Membuat bathinku merintih perih

Seperti malam yang tak disapa bulan

Gelap mencumbu dingin yang terbawa angin

Menyibak tirai peraduan nan senyap

Menguliti tubuhku yang mulai sekarat

Rinduku pada kekasih

Serupa pungguk yang merindu bulan

Tersungkur dalam penantian yang panjang

Kau gantung sebuah jawaban

Di atas seutas tali besi yang menggulung hatimu

Menjadi bongkahan salju

Mengendap menutupi sungai-sungai tak bermuara

Tak kutemukan sebuah hulu untuk menepi

Aku terus berenang mengitari hawa dingin

Membawa nyala api untuk mencairkan kebekuanmu

Di sebuah tempat yang sepi

Kau menyerah pada nyala apiku

Lalu kau serahkan sekeping cinta

Untuk kuhangatkan di dalam bejana hatiku


Pelabuhan Cinta

Di dermaga tua yang penuh dengan kerutan buih

Kau memandangku dalam ketakjuban yang abadi

Akulah makhluk hasil kreasimu

Dari benih-benih yang kau tuangkan

Ke dalam bejana cinta seorang perempuan

Yang terus kau gilai meski alam telah terberai

Pahatan kusam yang tergores di sepanjang bibir pantai

Mengumbar cerita tentang kepedihan masa lalu

Yang terus menghantui perjalanan hidup kita

Bahkan sapuan ombak yang membumbung tinggi

Tak mampu menghapus kisah pedih itu dari ingatan kita

Kau dan aku adalah sejarah kelam

Sekelam perjalanan yang selama ini kita tempuh

Di dermaga tua yang penuh dengan goresan luka itu

Kau berdiri dengan sorot mata berbinar

Bak kejora yang tergantung dalam bingkai cakrawala

Meski kulit di sekitar kelopak matamu telah mengendur

Namun sorot mata itulah yang telah menuntunku

Hingga sampai ke ujung jalan yang dipenuhi cahaya

Kau adalah dermaga tua tempat bidukku berlabuh

Menautkan cinta dan kerinduan dalam satu bahtera


Sunyi di Ujung Senja

Telah kau renda senja dalam sunyi

Senandung lagumu merdu menyayat kalbu

Kau kelabui alam dengan derai tawa

Namun dukamu tak seketika bisa sirna

Rindu

Kau menatap pilu

Pada awan berdimensi biru

Mengharap serdadu menabuh talu

Tanda perjuanganmu telah sampai di ujung waktu

Kerandamu telah siap sejak kemarin

Denyut nadimu telah berhenti kemarin pagi

Detak jantungmu tak lagi berdenyut ketika hari menjelang dini

Namun harapanmu tak jua pupus

Penantianmu tak hendak surut

Setapak kaki menjejak di bumi

Di mana ruhmu telah lama menanti

Harapanmu adalah mimpi yang nyata

Meski kau sambut tanpa kata dan tatap mata

Pergilah

Tidurlah kau dalam damai

Kutimang kau dengan senandung doa

Yang tak mungkin lekang meski waktu terus berlalu

Tlah kupersiapkan diriku

Tuk menukar kesunyianmu dengan nyanyian surga

Depok, 23 Juli 2007)

(Untuk ayahanda tercinta yang pergi dengan membawa rindu untukku)


Sampaikan Salamku Pada Ibu

Berbaringlah di sisiku

Ceritakan kepadaku tentang masa lalu

Yang pernah kita lalui

Meski dengan cara penuh liku

Wajahmu tirus menatap lurus

Mencari jejak di segurat kenangan

Yang terkubur bersama rentang waktu

Memisahkan kau, aku dan ibu

Kau bersikeras

Untuk bisa masuk ke ruang penyimpanan

Di mana file-file masa lalu tersampir beku

Kau tersenyum dengan tatap mata basah

Lirih suaramu berkata:

“Bersabarlah sedikit kekasihku, kuingin sampaikan

Berita bahagia ini pada anak kita yang sedang

Dalam perjalanan melepasku pergi”

Kau telah pergi

Membawa guratan kenangan

Yang tertoreh jelas di keriput wajahmu

Tak kusesali meski kau tak sempat berbaring di sisiku

Karena kau pergi untuk menemui kekasihmu

Satu pintaku, sampaikan salamku pada ibu


Lelaki Tua

Terbebaslah kau

Dari beban rindu

Yang berakhir di batas penantian

Lelaki tua terbaring lemah

Meratap tangis

Terbawa desir angin

Malam menapaki bumi

Berlomba dengan waktu

Menanti kokok pejantan berseru

Lelaki tua layu dalam gelisah

Tak hendak dilihatnya embun

Lekas menetes di daun-daun hijau

Sebelum matahari datang menyapa

Melepasnya pergi dengan tatap cinta

Lelaki tua terbaring kaku

Di sisinya matahari menangis tersedu


Perpisahan

Biarkan aku pergi

Sekelumit kata pecah

Mengurai senyap yang singgah

Sejak kita hidup dalam zaman bisu

Meretas jarak dari rentang waktu

Yang tak tampak meski kita bersatu

Membingkai kenangan tanpa bekas

Terlindas pertikaian, terus memanas

Memuai dan kandas

Kau terpengarah dalam sejuta tanya

Tegur sapa lama tak bersahabat

Bahkan tatapan pun kita buatkan sekat

Kita tenggelam dalam dunia yang berbeda

Meski langit terjunjung di atas satu

Mendung mengejan

Merontokkan butiran-butiran bening

Menggenang darah dari luka hati yang meleleh

Namun lukaku telah menjadi arang

Hitam dan membara

Perjalanan kita telah usai

Sebelum sampai pada tujuan yang kita mau

Namun banyak persimpangan yang telah kita lewati

Mungkin dengan menelusurinya seorang diri

Kita akan menemukan apa yang kita cari

Pergilah,

Jawaban itu sekaligus mengakhiri zaman bisu

Kamis, 24 April 2008

SAJAK-SAJAK CINTA

KUNANTI SAPAMU

Pagi ini,
Tanpa basa-basi
Kau menyapaku
Seperti mimpi
Aku berlari mengitari bumi
Ringan, tubuhku melayang
Kakiku tak berjejak
Hanya jantungku terus berdetak

Sesaat, kau terbelalak
Lalu tergelak
Sajak sunyi yang lama kita telusuri
Sampai juga pada ujung yang manis
Sapamu yang lama kunanti
Telah membawaku
Pada hari yang penuh arti


REINKARNASI CINTA

Selempar senyummu
Telah menautkan hatiku
Pada ranting kamboja
Yang ku tanam dekat kuburmu

Sajak-sajak kematianmu
Mengurai rindu yang lama membeku
Ragamu tertanam damai
Di bawah tumpukan tanah merah hatiku
Namun senyummu tetap tinggal
Membakar laraku menjadi serpihan debu

Setangkai kamboja gugur
Rebah dalam genggaman tanganku
Bau harum tubuhmu tiba-tiba menyeruak
Kau muncul dari balik kelopak putihnya
Serupa bidadari meski dalam rupa yang pasi
Kau menjelma dalam reinkarnasi
Selempar senyummu
Menghangatkan jiwaku
Cinta yang dulu telah mati
Perlahan mulai bersemi kembali


MEMUPUS RINDU

Di tepi danau yang banyak ditumbuhi ilalang
Kunang-kunang menebarkan cahaya
Berpendar terpantul cermin datar tak beriak
Kita rebah bertumpu pada embun
Kuraba kerinduanmu
Dalam kegelisahan yang terus mengiris
Langit menatap getir
Pada bulan yang terlihat mesum
Matamu selaksa larik pedang
Terhunus menembus lobang kemaluanku
Melumat sekelopak mawar
Yang mengelilingi bejana suciku
Memancarkan percikan-percikan nafsu
Membekaskan aroma kejantanan
Kau jarah tiap-tiap lekukan
Tanpa menyisakan percakapan
Pedangmu terus terhunus
Hingga kerinduan benar-benar pupus


DI SUATU PAGI

Tak pernah kusesali
Jika di suatu pagi
Dalam balutan rasa sepi
Kau datang menghampiri
Meski tanpa permisi
Pagi itu,
Menjadi pangkal sebab
Kau dan aku merajut harap


PERPISAHAN

Biarkan aku pergi
Sekelumit kata pecah
Mengurai senyap yang singgah
Sejak kita hidup dalam zaman bisu
Meretas jarak dari rentang waktu
Yang tak tampak meski kita bersatu
Membingkai kenangan tanpa bekas

Kau terperangah dalam sejuta tanya
Tegur sapa lama tak bersahabat
Bahkan tatapan pun kita buatkan sekat
Kita tenggelam dalam dunia yang berbeda
Meski langit terjunjung di atas satu

Mendung mengejan
Merontokkan butiran-butiran bening
Menggenang darah dari luka hati yang meleleh
Namun lukaku telah menjadi arang
Hitam dan membara

Perjalanan kita telah usai
Sebelum sampai pada tujuan yang kita mau
Namun banyak persimpangan yang telah kita lewati
Mungkin dengan menelusurinya seorang diri
Kita akan menemukan apa yang kita cari

Pergilah,
Jawaban itu sekaligus mengakhiri zaman bisu


MUSIM BERCINTA

Pada lautan bulan berkaca
Membumbung buih merah jingga
Lalu terhempas di bibir pantai
Menyapu butiran pasir hitam

Kiranya musim bercinta telah tiba
Dewa laut datang membawa restu
Dititahkannya agar bulan segera pergi
Meninggalkan gelap agar menjadi sekat

Awan berarak perlahan
Menjemput bulan yang terlihat masygul
Tak rela bumi dikotori

Hening, malam berlalu dalam syahdu
Membawa hasrat yang terus menggebu
Persetubuhan tak lagi tabu
Pasir berbisik pilu
Terinjak-injak nafsu yang bernyanyi merdu

Seribu bintang menyeringai berang
Menangisi bumi yang tak lagi suci
Berpasang-pasang kelamin saling bertemu
Di balik selubung awan pekat dan gelap yang menjadi sekat
Bau anyir menyeruak
Dari ribuan telur yang tak sempat menetas
Menggelinding dari liang-liang yang terkoyak
Menyatu dalam gulungan ombak

Musim berikutnya
Laut dipenuhi ribauan ikan
Yang menyerupai manusia
Dewa laut tergelak bahagia
Menuai ambisi menyatukan alam
Damai di laut damai di bumi

KURINDU HARUM BUNGAMU

Pernah suatu kali
Aku campakkan bunga pemberianmu
Tanpa sempat kucium harum aromanya
Awan kelabu menggelantung di matamu
Kau coba menahan gerimis yang hampir jatuh
Seperti surya aku berseteru dengan hujan
Tak ingin pisah dari pohon dan dedaunannya

Aku manusia bodoh
Telah kupasung keluhuran cintamu
Kukubur bersama raga yang telah membatu
Kematian telah lama menyelubungi hidupku
Pusaraku rindu pada wewangian bungamu
Ke manakah kau bawa bunga yang dulu aku campakkan?


KUTUNGGU KAU DI BULAN

Kurajut tali dari puing-puing hati yang berserakan
Terberai oleh pedang cinta hingga tembus ke jantung
Kubawa sepatu kaca yang sengaja kau tinggalkan
Agar ku jejak sisa-sisa langkahmu yang penuh amarah

Kotaku telah sunyi, semenjak bayangmu menghilang
di balik remang cahaya bulan.
Kukirim pesan pada angin yang melanglang ke empat penjuru
Bintang berpaling saat ku sulur temaliku menggapai bulan
“Usahamu hanya sia-sia”, sekelompok awan mengingatkan
Aku tak perduli, di luas cakrawala kutemukan jejakmu
Bulan menatapku penuh ratap, sepatu kaca kudekap erat
Adindaku, kutunggu kau di bulan

DENGAN SEGALA DAYA AKU MENCINTAIMU

Ribuan puisi telah kutulis
Itu artinya, ribuan kali telah kunyatakan cintaku
ribuan mimpi telah kubuat untuk hadirkan wajah indahmu
ribuan benang telah kuurai untuk merajut kenangan bersamamu
ribuan kail telah kulempar untuk menangkap pesonamu
ribuan waktu telah terbuang hanya untuk mengingat kecantikanmu
di balik setiap huruf, di balik setiap kata dan di balik setiap kalimat
hanya melahirkan satu makna, cinta untukmu
di setiap malam, di setiap fajar dan disetiap petang hanya menghadirkan
satu bayangan, wajah indahmu
di setiap detik, di setiap menit dan di setiap jam yang berputar hanya
mendendangkan senandung cinta untukmu
Duhai gadis berparas rupawan
Dengan segala daya dan upaya kupersembahkan cinta untukmu

SAJAK KEPADA KAWAN

Kepada Kawan

Perjalanan tahun ini
Akan terasa sepi
Tanpa hadirmu di sisiku

Pada burung yang datang
Kau sampaikan berita perang
Cintamu kau tukar dengan nyanyian sumbang

Oh kawan,
Lihatlah ilalang yang tumbuh liar
Mereka tetap setia kepada padang
Sekalipun kemarau panjang menjadikannya gersang
Pada perjalanan tahun lalu
Kau petikkan aku kembang
Kutaruh di dalam kanvas emas
Sekerat cinta tanpa keju, setahun lalu
Kita nikmati lebih lezat dari yang seharusnya

Keparat,
Pengkhianat menyusup ke dalam tubuhmu yang mulai rapuh
Menghisap kearifan yang seharusnya mengakar kuat
Dalam tiap-tiap lubang pori-porimu
Panasnya lahar yang kau muntahkan ke jantungku
Mengoyak pertahananku sekeras aku menafikkannya

Maafkan aku kawan
Kenyataan pahit ini harus kita telan
Kuputuskan untuk terus berjalan
Meski kita tak lagi saling menyayang


Menanti Keajaiban

Di dalam hidup ini akan aku temukan
sebuah keajaiban – katamu penuh semangat
Lalu kaupun terlena, merajut mimpi
di atas tumpukan bara yang kapan saja bisa menjilat
Matamu terpejam rapat, menjelajah malam dalam kemunafikan
Kau kelabui semua orang dengan tawa sihirmu
Kau bertahta anggun di balik lapisan jubah
yang menjuntai menutupi roda-roda kakimu

Cukup lama kau hidup, bersanding dengan kecongkakan yang mulai muak
Muak pada tingkah lakumu yang penuh syahwat
Membakar sisi-sisi kemanusiaanmu hingga tak berbekas
Aku juga muak, semua orang mulai muak
Muak pada kemolekan rupamu yang menyilaukan
Muak pada kebusukan hatimu yang selalu kau taburi aneka wewangian
Hingga tak banyak orang bisa mengendus racunnya
Bibir tipismu berdesis, wajahmu meradang sinis
Kubiarkan kau, berjalan di atas bara yang kau ciptakan sendiri

Lalu kau terjaga
Tidaaa…k! kau berteriak dengan mata terbelalak.
Di dalam hidupmu yang cukup panjang,
ternyata tak jua kau temukan keajaiban yang kau damba.
Yang ada hanyalah lautan bara yang menyala
Menjilat-jilat seperti lidah
Berkecipak kecipuk seperti darah
Dan kau terjilat, dan kau terciprat, kau terbakar baranya
Jiwa dan ragamu menyatu dalam bara syahwatmu
Rupa manusiamu seketika berubah menjadi iblis betina
Mungkin itu keajaiban yang kau tunggu.


Resign

akhirnya, kutinggalkan juga bahteramu
kuputuskan untuk berlabuh di dermaga rumahku
bertahun-tahun berjuang mengembangkan layarmu,
hanya menghasilkan kepedihan dan kekecewaan saja
ombak dari gelombang nafsu terus kau kayuh
menyeret para kelasi ke dalam geladak penuh nanah
cipratan air laut menyerap sisa-sisa kehikmatan
hingga tak ada lagi yang tertinggal untuk
kupersembahkan sebagai upeti untukmu


keputusan ini telah lama meracuni pikiranku
lalu diam-diam merembet ke kepala-kepala yang lain
turun dan bergulat di rongga-rongga dada kami
sengaja kami tahan, agar tidak cepat meluncur keluar
namun seringai angin mengabarkan pesakitanmu
ombak dari gelombang nafsumu semakin tinggi
menghempaskanmu pada buritan penuh enerji
enerji negatif dipenuhi kesumat mati

“Maafkan kami, perjalanan kami sebaiknya hanya sampai di sini
layar telah terkembang begitu rupa, ratusan dermaga
telah berhasil kita singgahi. Kau miliki bahtera ini.
Jangan berhenti. Laut yang kau arungi masih luas terbentang.
Suara-suara perempuan tertindas masih nyaring terdengar.
Jangan kau banjiri luka mereka dengan darah permusuhan kita.
Kayuhlah lebih keras. Masih banyak dermaga yang menantimu

Rabu, 23 April 2008

PUISIKU UNGKAPAN ISI HATIKU

Makna Kawan

Pun ketika cawan itu telah mengering
Kau tuangkan wangi aroma kembang teh
Menyuburkan persemaian cinta yang telah kita bangun
Denyut kehidupan yang nyaris koma
Kau pompa dengan ketulusanmu mendampingiku

Gelak tawamu serupa semilir angin
Berhembus menyapu kegundahan
Tangan lembutmu laksana seutas tali
Senantiasa terulur menggapai asa yang nyaris musnah
Terbakar kemarau yang tak pernah ramah
Meski telah kucoba menghalau debu-debu

Kau yang tak lain hanya sebuah kata “Kawan”
Kau lakonkan dirimu menjadi sesuatu yang sangat berarti
Kau hanyalah kawan dalam sebuah kata
Tapi kau penjelmaan malaikat suci dalam hidup yang nyata
Kau berikan hati dan tanganmu untuk orang-orang
Yang mungkin hanya menganggapmu sebagai
Sebuah kata “Kawan” namun mengharapkan
Kebaikanmu sebagaimana malaikat suci