Senin, 11 Agustus 2008

SAJAK-SAJAK PILU

DUNIA TANPA MUSIM

Malam masih menyisakan remang

Ketika semburat perak mulai menguak pagi

Mengikis kabut yang enggan beranjak pergi

Namun rotasi bumi akan terus berlari

Merubah waktu dan musim agar terus berganti

Sebuah dunia yang penuh warna abu-abu

Tersebar di bawah jembatan-jembatan bertiang seribu

Mereka hanya memiliki satu musim dan satu waktu

Pagi, siang, malam, bagi mereka tak berlaku

Di sebuah negeri

Yang tengah berbenah diri

Dari rongrongan berbagai dekdensi

Termasuk budaya korupsi yang tinggi

Kisah ini sungguh terjadi


JASAD DALAM GEROBAK

Pagi baru saja merekah

Ketika sebuah gerobak sampah

Bergerak membawa gadis mungil dalam rebah

Gemerutuk tulang berbisik resah

Memutar roda-roda dalam himpitan kesedihan yang membuncah

Seribu guratan mengental pada wajah yang lelah

Membungkus tulang pipi tanpa sekerat daging tempat mengalirnya darah

Terucap tanya dalam hati, hendak kemanakah

Kan kubawa darah daging hasil persemaian cinta ya ALLAH

Gadis mungil dalam rupa yang pasi

Telah berubah menjadi pualan nan suci

Dingin dan membeku meski terbakar oleh terik mentari

Memanggang jasadnya yang tak berselimut kafan bertali

Gerobak sampah terus berderit

Menyusuri lorong-lorong sempit

Melewati rumah-rumah elit

Hati laki-laki itu tak henti menjerit

Gadis kecil yang malang

Dia telah pergi meninggalkan dunianya yang suram

Menorehkan luka sejarah yang panjang

Sampai kapankah kesenjangan ini akan berakhir?


JASAD YANG TELAH MATI

Terbayang di mata pantai nan elok

Membingkai laut tempat ikan melenggok

Ramai kicau anak-anak bermain dan berolok

Di tepi pantai tempat biasa kami berlari dan berjongkok

Tiba-tiba raksasa itu datang menggilas

Pekik dan tangis ketakutan terdengar hanya sekilas

Dalam sekejap meunasahku menjadi amblas

Tak bersisa, tak berbekas

Kudekap erat sebilah pelepah yang terapung lepas

Terombang-ambing dalam gelombang yang mengganas

Timbul tenggelam dalam lumpur yang menyumbat nafas

Kemanakah tubuh ini akan terhempas?

Matahari tak jua menyapa negeri

Ataukah retina mata ini sudah tak berfungsi?

Kudapati jasadku tergolek di antara ribuan manusia yang telah mati

Di kelilingi oleh peri-peri yang menari-nari

Aneh, kenapa aku bisa melihat tubuhku sendiri?

Bunda datang bersama adik dalam rupa yang pasi

Bersama peri-peri mereka membawaku pergi

Meninggalkan pekikan pilu ayah yang memeluk jasadku yang mulai membiru

Kelabu di langit meunasah menyisakan kisah pilu


GUGURNYA SANG PENARI

Sekeping bulan

Bertengger di balik ranting kering

Memancarkan cahaya menyapu dedaunan

Sisa-sisa air hujan seperti kristal

Bergelantungan di ujung-ujung daun tak bertulang

Penari memasuki taman bunga baiduri

Hasil budidaya seseorang yang biasa dipanggil mami

Penari terkurung dalam sarang penuh mucikari

Menari di antara semak-semak belukar

Menyusup di balik keringat kumbang jalang dan binatang liar

Tak ada celah untuknya bersembunyi

Apalagi lubang untuk menyelinap pergi

Tubuhnya terlilit seutas tali

Dari pusar iblis yang menjaga neraka

Tempat para pemuja mencari bejana

Untuk menuangkan saripati dari benih yang tersia-sia

Membelah belantara dan menyisir rawa-rawa

Lalu masuk ke dalam lorong kegelapan

Terjepit di antara batu-batu cadas yang mengeras

Menggelepar lalu melemas

Seonggok jasad mulai rapuh

Bergeming dalam kelam berkabut

Keletihan telah membawanya pada batas waktu

Layu, terkapar di ujung kaki bumi

Tanpa belas kasih dan harga diri

Penari tak sanggup lagi mengepakkan gemulai tangannya

Menantang kumbang-kumbang liar yang siap menghisap madu

Menancapkan duri-duri tajamnya menghujam ulu

Mendengarkan lenguh panjang kepuasan setelah bercumbu

Penari terpental bagai peluru tak terkendali

Penari tercampak bagai nyayian tak bermelodi

Sekeping bulan, perlahan bergerak pergi

Meninggalkan ranting kering dan daun-daun tak bertulang

Terpelanting bersama gugurnya sang penari


SEPOTONG HATI

Kau ukir cinta dalam selembar sutra

Tersulam di sana rindu yang lama kau pendam

Seribu rasa tersusun rapi di antara serat-seratnya

terselip dari ujung ke ujung

meresap ke dalam pori-pori

menyusup ke sanubari

merenda selarik puisi

mengusir sepi

Aku perduli

pada sepotong hati

yang kau kirimkan padaku pagi ini


KESETIAAN I

Satu langkah maju

Satu masa berlalu

Sebelum musim berganti

Kuingin kau mengerti

Sekali dalam hidupku

Kupikat engkau di bening embun pagi

Hatiku padamu

Seperti matahari menyongsong hari

Begitu seterusnya

Meski gerhana terkadang menghalangi

Namun bumi tak pernah enggan untuk menanti

Detik demi detik menit demi menit

Cintaku tak pernah lekang oleh waktu


KESETIAAN II

Pernah bintang berkata pada langit

“Aku tak mungkin berkhianat pada bulan”

Langit terkesima

Kelelawar-kelelawar mengelus dada

Kunang-kunang bertasbih memanjat doa

Wajah bulan penuh menatap bumi

Bertengger pada sepotong awan

Dibisikinya awan tentang kesetiaan

Mayapada benderang

Anak-anak berlari gembira

Bulan dan Bintang bersanding dalam tahta

Mengawal malam menjemput sang fajar


YANG BARU

Yang baru,

Adalah sesuatu yang dirindu

Sesuatu yang diinginkan untuk ada

Dari asal yang tak ada menjadi ada.

Seperti cinta

Cinta mampu melahirkan sesuatu

Yang tadinya tak ada menjadi ada

Dengan cinta kau beri aku

Semua yang belum pernah aku miliki

Sebelumnya

Yang baru membutuhkan cinta

Namun cinta tak butuh yang baru

Cinta hanya melahirkan yang baru

Karena cinta selalu menjaga yang ada


SEPARUH MALAM

Hitam.....

Hanya ada hitam

Tak ada bintang

Tak ada bulan

Hanya ada hitam

Langit hitam

Air hujan berwarna hitam

Suara gemuruh keluar dari lumpur hitam

Hitam....

Hanya ada hitam

Semua serba hitam

Airmataku juga hitam

Lautanku juga hitam

Cukup separuh malam

Untuk merubah semua warna menjadi hitam

3 komentar:

Mahardhieka mengatakan...

awesome... sangat terkesan aku.... wow... i love it :)

Diah Rofika mengatakan...

makasih say.....

Diah Rofika mengatakan...

makasih say.....