DUNIA TANPA MUSIM
Malam masih menyisakan remang
Ketika semburat perak mulai menguak pagi
Mengikis kabut yang enggan beranjak pergi
Namun rotasi bumi akan terus berlari
Merubah waktu dan musim agar terus berganti
Sebuah dunia yang penuh warna abu-abu
Tersebar di bawah jembatan-jembatan bertiang seribu
Mereka hanya memiliki satu musim dan satu waktu
Pagi, siang, malam, bagi mereka tak berlaku
Di sebuah negeri
Yang tengah berbenah diri
Dari rongrongan berbagai dekdensi
Termasuk budaya korupsi yang tinggi
Kisah ini sungguh terjadi
JASAD DALAM GEROBAK
Pagi baru saja merekah
Ketika sebuah gerobak sampah
Bergerak membawa gadis mungil dalam rebah
Gemerutuk tulang berbisik resah
Memutar roda-roda dalam himpitan kesedihan yang membuncah
Seribu guratan mengental pada wajah yang lelah
Membungkus tulang pipi tanpa sekerat daging tempat mengalirnya darah
Terucap tanya dalam hati, hendak kemanakah
Kan kubawa darah daging hasil persemaian cinta ya ALLAH
Gadis mungil dalam rupa yang pasi
Telah berubah menjadi pualan nan suci
Dingin dan membeku meski terbakar oleh terik mentari
Memanggang jasadnya yang tak berselimut kafan bertali
Gerobak sampah terus berderit
Menyusuri lorong-lorong sempit
Melewati rumah-rumah elit
Hati laki-laki itu tak henti menjerit
Gadis kecil yang malang
Dia telah pergi meninggalkan dunianya yang suram
Menorehkan luka sejarah yang panjang
Sampai kapankah kesenjangan ini akan berakhir?
JASAD YANG TELAH MATI
Terbayang di mata pantai nan elok
Membingkai laut tempat ikan melenggok
Ramai kicau anak-anak bermain dan berolok
Di tepi pantai tempat biasa kami berlari dan berjongkok
Tiba-tiba raksasa itu datang menggilas
Pekik dan tangis ketakutan terdengar hanya sekilas
Dalam sekejap meunasahku menjadi amblas
Tak bersisa, tak berbekas
Kudekap erat sebilah pelepah yang terapung lepas
Terombang-ambing dalam gelombang yang mengganas
Timbul tenggelam dalam lumpur yang menyumbat nafas
Kemanakah tubuh ini akan terhempas?
Matahari tak jua menyapa negeri
Ataukah retina mata ini sudah tak berfungsi?
Kudapati jasadku tergolek di antara ribuan manusia yang telah mati
Di kelilingi oleh peri-peri yang menari-nari
Aneh, kenapa aku bisa melihat tubuhku sendiri?
Bunda datang bersama adik dalam rupa yang pasi
Bersama peri-peri mereka membawaku pergi
Meninggalkan pekikan pilu ayah yang memeluk jasadku yang mulai membiru
Kelabu di langit meunasah menyisakan kisah pilu
GUGURNYA SANG PENARI
Sekeping bulan
Bertengger di balik ranting kering
Memancarkan cahaya menyapu dedaunan
Sisa-sisa air hujan seperti kristal
Bergelantungan di ujung-ujung daun tak bertulang
Penari memasuki taman bunga baiduri
Hasil budidaya seseorang yang biasa dipanggil mami
Penari terkurung dalam sarang penuh mucikari
Menari di antara semak-semak belukar
Menyusup di balik keringat kumbang jalang dan binatang liar
Tak ada celah untuknya bersembunyi
Apalagi lubang untuk menyelinap pergi
Tubuhnya terlilit seutas tali
Dari pusar iblis yang menjaga neraka
Tempat para pemuja mencari bejana
Untuk menuangkan saripati dari benih yang tersia-sia
Membelah belantara dan menyisir rawa-rawa
Lalu masuk ke dalam lorong kegelapan
Terjepit di antara batu-batu cadas yang mengeras
Menggelepar lalu melemas
Seonggok jasad mulai rapuh
Bergeming dalam kelam berkabut
Keletihan telah membawanya pada batas waktu
Layu, terkapar di ujung kaki bumi
Tanpa belas kasih dan harga diri
Penari tak sanggup lagi mengepakkan gemulai tangannya
Menantang kumbang-kumbang liar yang siap menghisap madu
Menancapkan duri-duri tajamnya menghujam ulu
Mendengarkan lenguh panjang kepuasan setelah bercumbu
Penari terpental bagai peluru tak terkendali
Penari tercampak bagai nyayian tak bermelodi
Sekeping bulan, perlahan bergerak pergi
Meninggalkan ranting kering dan daun-daun tak bertulang
Terpelanting bersama gugurnya sang penari
SEPOTONG HATI
Kau ukir cinta dalam selembar sutra
Tersulam di sana rindu yang lama kau pendam
Seribu rasa tersusun rapi di antara serat-seratnya
terselip dari ujung ke ujung
meresap ke dalam pori-pori
menyusup ke sanubari
merenda selarik puisi
mengusir sepi
Aku perduli
pada sepotong hati
yang kau kirimkan padaku pagi ini
KESETIAAN I
Satu langkah maju
Satu masa berlalu
Sebelum musim berganti
Kuingin kau mengerti
Sekali dalam hidupku
Kupikat engkau di bening embun pagi
Hatiku padamu
Seperti matahari menyongsong hari
Begitu seterusnya
Meski gerhana terkadang menghalangi
Namun bumi tak pernah enggan untuk menanti
Detik demi detik menit demi menit
Cintaku tak pernah lekang oleh waktu
KESETIAAN II
Pernah bintang berkata pada langit
“Aku tak mungkin berkhianat pada bulan”
Langit terkesima
Kelelawar-kelelawar mengelus dada
Kunang-kunang bertasbih memanjat doa
Wajah bulan penuh menatap bumi
Bertengger pada sepotong awan
Dibisikinya awan tentang kesetiaan
Mayapada benderang
Anak-anak berlari gembira
Bulan dan Bintang bersanding dalam tahta
Mengawal malam menjemput sang fajar
YANG BARU
Yang baru,
Adalah sesuatu yang dirindu
Sesuatu yang diinginkan untuk ada
Dari asal yang tak ada menjadi ada.
Seperti cinta
Cinta mampu melahirkan sesuatu
Yang tadinya tak ada menjadi ada
Dengan cinta kau beri aku
Semua yang belum pernah aku miliki
Sebelumnya
Yang baru membutuhkan cinta
Namun cinta tak butuh yang baru
Cinta hanya melahirkan yang baru
Karena cinta selalu menjaga yang ada
SEPARUH MALAM
Hitam.....
Hanya ada hitam
Tak ada bintang
Tak ada bulan
Hanya ada hitam
Langit hitam
Air hujan berwarna hitam
Suara gemuruh keluar dari lumpur hitam
Hitam....
Hanya ada hitam
Semua serba hitam
Airmataku juga hitam
Lautanku juga hitam
Cukup separuh malam
Untuk merubah semua warna menjadi hitam