Kamis, 07 Agustus 2008

SAJAK-SAJAK PENGKHIANATAN

PERSETUBUHAN

Malam baru saja berangkat

Menapakkan kakinya sambil berjingkat

Rembulanpun masih tampak malu

Menggeliat dalam rona merah dadu

Menggelantung di ujung lidah pekat

Menanti awan datang mendekat

Seorang perawan diam tercekat

Matanya gemerlap menatap lekat

Bergelayut manja pada sang pembuka cawat

Di balik bilik mereka saling merapat

Tanpa selembar kainpun yang mengikat

Dua kelamin yang berbeda zat

Bertempur dalam simbah keringat

Menggelepar dalam sekarat

Lembah hitam semakin dalam menjerat

Nikmat meski hanya sesaat


KEMANA PRIAMU TLAH KAU BAWA PERGI?

Kemana priamu telah kau bawa pergi?

Tanyaku dalam hati

Malam telah larut

Anak-anak telah lelap di balik selimut

Ketika kau datang dengan muka kusut

Seketika dahiku berkerut

Kau menatapku takut

Kemana priamu telah kau bawa pergi?

Tanyaku dalam hati

Kau tak jua membuka mulut

Terus terang, perasaanku sangat kalut

Hatiku bagai dunia yang carut marut

Kau telah berubah menjadi laki-laki pengecut

Aku berusaha untuk tidak menampakkan wajah cemberut

Aku tak mau membuat masalah berlarut-larut

Kemana priamu telah kau bawa pergi?

Tanyaku dalam hati

Mataku menatap lekat

Pada kerah baju yang kau tutup rapat

Jenjang lehermu nyarais tak terlihat

Wajahmu pucat bagai mayat

Lenguhmu persis orang sekarat

Kuberanikan diri untuk mendekat

Namun kau menghindar secepat kilat

Kemana priamu telah kau bawa pergi?

Pertanyaan ini benar-benar nyata

Karena kuajukan dengan suara

Matamu menatap penuh iba

Ada dosa menggenang di sana

Goresan merah dadu itu

Menyembul malu di balik kerah bajumu

Goresan yang sama yang sering aku buat untukmu

Ketika dulu kita berbulan madu

Kau mendesah resah

Mencoba mengusir rasa bersalah

Kemana priamu telah kau bawa pergi?

Kubertanya sekali lagi

Airmataku jatuh bergulir

Otakku tak lagi bisa berpikir

Kujambak rambutmu yang tak tersisir

Kudorong tubuhmu hingga tersingkir

Kau hanya menatapku getir

Malam terus berlalu

Meninggalkan raga-raga yang terus membisu

Dengkur anak-anak terdengar merdu

Meski mendendangkan irama sendu


PERMINTAAN

Pagi telah merekah

Goresan di lehermu masih memerah

Kucoaba untuk menahan marah

Agar luka hati tak berdarah

Marilah,

Ajakku dengan ramah

Kita bermuhadasah

Menyusuri inti masalah

Agar tidak terjadi fitnah

Semoga masih ada mawaddah

Yang berkelindan dengan rahmah

Dan merekatkan tali sakinah

Jujurlah,

Hanya itu yang aku pinta

Sebab jika kau dusta

Itu tanda kau tak cinta

Berterus teranglah,

Karena tak baik berahasia

Jika tiba saatnya terbuka

Siapa mengira cinta sudah tak ada

Kau terperangah

Dalam titik nadir pasrah

Aku tengadah

Memohon ijabah

Pamulang, 28 Mei 2002


TOLONG..........

Tolong hargai perasaanku

Karena aku mudah cemburu

Tolong hargai sikap diamku

Karena aku tak mudah dirayu

Tolong hargai cintaku

Karena aku tak mau dimadu

Tolong hargai keputusanku

Jika suatu saat tak lagi tahan padamu


RENOVASI

Masih adakah ruang untuk kita

Padahal rumah ini kitalah yang mendesainnya

Pondasinya kita susun begitu kuat

Bahkan badai tsunamipun tak akan sanggup merobohkannya

Renovasi pertama kita lakukan

Ketika kita sadar rumah ini terlalu rapat

Tak ada ventilasi udara di dinding-dindingnya

Udara menjadi lembab dan pengap

Meski tungku selalu kita nyalakan

Tetapi suasana dingin tetap menyelimuti kita

Penyakit-penyakit ringanpun mulai menggerogoti raga

Lalu kita buat celah-celah, yang memungkinkan

Udara dan sinar matahari bisa masuk ke dalamnya

Sejak itu, wajahmu mulai sumringah

Semangatmu kembali merajah

Renovasi kedua kita lakukan

Ketika kau beranggapan bahwa pintu rumah ini terlalu kuat

Padahal selama ini kita tak pernah kesulitan untuk membukanya

Bukankah dulu kau pernah bilang, “jika ingin rumah ini aman,

maka pintunya harus kuat, sehingga tak ada pencuri yang bisa masuk”

Lagi-lagi aku mengalah, lalu kau gantilah pintu itu dengan yang lebih ringan

Renovasi ketiga kita lakukan

Setelah sebelumnya kau dengan hati-hati mengatakan kepadaku

Bahwa kau ingin memberiku madu.

Lalu kau buat sebuah ruang, di samping kamar kita

Kau desain dan kau isi perabotan yang sama dengan kamar kita

Agar aku tak merasa tersisih

Meski dengan perasaan getir, kutelan madu yang kau berikan

Begitulah, beberapa kali kita renovasi rumah yang berpondasi kokoh itu

Dan pada renovasi yang terakhir, sebagian pondasi tiba-tiba runtuh

Memporak-porandakan ruangan milik kita hingga tak bersisa

Mengubur semua kenangan yang pernah kita buat bersama

Tubuhku terlalu rapuh untuk terus menerus

menghirup debu-debu yang berterbangan

setiap kali para pekerja bangunan itu mulai bekerja

bulu-bulu hidungku tak kuat lagi menyaring aroma cat

yang meleleh pada dinding-dinding bangunan baru rumah kita

Telingaku tak sanggup lagi mendengar suara-suara lebah yang kau simpan

Hampir di setiap ruangan yang ada di rumah kita

Mereka mendengung manakala jari jemarimu meremas-remas tubuh mereka

Satu persatu organ-organ yang ada di dalam tubuhku tanggal

Teracuni oleh sengatan bisa lebah-lebahmu


PENGKHIANATAN

Sepi telah mencabik-cabik hasratmu menjadi ribuan nafsu

Lalu kau jadikan senjata untuk mengkhianatiku

Di balik keluguan malam kau torehkan noda biru

Menyatu bersama nafas yang saling memburu

Gelap telah menjerumuskanmu ke tepi jurang yang curam

Di mana tak kau temukan celah tempat berpendarnya cahaya bulan

Membias bersama luruhnya dedaunan seperti lukisan buram

Kau banjiri kanvas dengan peluhmu dan peluh puan

Setitik nila kau teteskan di hamparan putih bersalju

Seketika warna putih berubah menjadi kelabu

Jika kemudian malam telah berubah siang

Lukisan itu tak jua terlihat terang


PENYESALAN TIADA HENTI

Rintihan sukma

Datang dari alam maya

Meski berawal dari kreasi yang nyata

Tetapi penyesalan seluas cakrawala

Meski kau ingin segera sampai di ujungnya

Tak akan bisa, kecuali cahaya menuntunmu ke sana

Kau hirup racun dalam kesadaran yang dalam

Kau racik noda dalam hasrat yang memabukkan

Ketika ribuan ular berbisa mulai mengerubutimu

Kau nikmati gigitannya layaknya sedang penetrasi

Berkelindan dalam persetubuhan yang terlarang

Kau terbelalak puas dalam lenguhan panjang

Kau tertawa girang, seperti serdadu menang perang

Kau terpuruk bersama pekatnya malam

Segurat wajah menatap kosong dalam bayangan hitam

Terselubung samar dalam jubah panjang terbentang

Suaranya menggemuruh lantang

Kau menjerit menahan sakit bukan kepalang

Setiap ucapannya seperti sebilah pedang

Menghujam jantung dan kau terus meradang

Rintihan sukma

Telah menghasilkan petualangan yang panjang

Kau telusuri jalanan penuh duri

Kau kebiri setiap celah menjadi benda mati

Namun tak jua kau temukan apa yang kau cari

Penyesalan seperti lautan tak bertepi

Hanya biduk yang bisa membawamu pergi

3 komentar:

Sartian Sorume mengatakan...

Hi salam menulis dari kami Akaroempoet.... Puisinya bagus yah, keep writing, writing and writing...

Sartian Sorume mengatakan...

Hi salam menulis dari kami di Akaroempoet, tulisannya bagus-bagus yah..... keep writing-writing, and writing....

Diah Rofika mengatakan...

salam kembali, terimakasih untuk supportnya ya....