sore itu
di sebuah bis warna biru
kamu duduk di bangku itu
tidak jauh dariku
lalu tanpa sengaja mata kita bertemu
kita terpaku, sama-sama bisu
lalu kau menunduk penuh malu
kupandangi wajahmu
yang sebagian tertutup bulu
berharap kau menengok ke arahku
agar dapat kunikmati lagi tatapan matamu
dan kau seperti bisa membaca pikiranku
dengan sedikit senyum manis di sudut bibirmu
kau menatap lurus kepadaku
bergemuruh detak jantungku
berdetak cepat denyut nadiku
matamu terus memburuku
membuatku mati kutu
derit roda bis terus melaju
dipacu oleh bunyi mesin yang menderu
meninggalkan tebaran debu
tapi kita tak hendak memperdulikan itu
mata kita masih terus berjibaku
mengungkapkan berjuta rayu
dengan menggunakan bahasa kalbu
dan memulai untuk mencipta sebuah rindu
meski wajah kita masih menyimpan malu
di sebuah persimpangan baru
kau turun meninggalkanku
tatapan matamu sedikit kelabu
raut wajahku berubah sendu
roda bis kembali melaju
membawaku menjauh darimu
memisahkan matamu dari mataku
mengaburkan harapanku dan harapanmu
dalam kesendirianku
aku terus membayangkan tatapan matamu
dalam kesedihanku
aku terus mengenang senyum manismu
di manakah tempat tinggalmu?
Adakah kesempatan lagi untuk kita bertemu?
Sedikit gila aku memikirkanmu
Hilang gairahku karena merindukanmu
Tatapan matamu seperti matahari pagiku
Senyuman bibirmu seperti rembulan malamku
Pesona wajahmu seperti lintang kemukus di langitku
Kemana aku harus mencarimu
untuk labuhkan segenap rinduku
sedangkan keberadaanmu sangat misterius bagiku
hampir tiap hari aku datangi persimpangan itu
hampir tiap hari pula aku naiki bis warna biru
bulat tekadku untuk mencari jejakmu
namun semuanya membisu
tak ada yang memperdulikanku
atau mungkin juga karena mereka memang tidak tahu
resah, gundah gulana, campur aduk jadi Satu
aku duduk dengan lesu
berharap penderitaan ini cepat berlalu
dan mulai untuk melupakan tatapan matamu
tetapi tatapan matamu terus menghantuiku
melekat erat di pelupuk mataku
kubasuh berkali-kali kedua mataku
berharap tatapan matamu ikut luruh di lubang westafelku
terbawa oleh arus air sampai ke samudera biru
tetapi tatapan matamu justru merasuk lebih dalam ke sanubariku
menyatu dengan sukmaku
mengalir bersama darahku
menari-nari di antara desah nafasku
bersekutu dengan seluruh anggota tubuhku
mengajak demo untuk menentang otakku
yang terus bersikeras untuk melupakanmu
aku kembali mati kutu
semua cara menemui jalan buntu
di manakah kamu.....
aku ingin mengembalikan tatapanmu
karena tiada guna tanpa hatimu
ambil saja kembali tatapanmu
jauhkan dia dariku
karena tiada arti tanpa kehadiranmu
akhirnya, dengan mengenyampingkan rasa malu
aku harus mengaku
kamulah sebenarnya obsesiku, kamulah yang menjadi keinginanku
(Puisi adalah kebebasan jiwa untuk mengungkap semua yang dirasa)
Sparrstr. 2 Berlin 13353, 18.03.11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar